![]() |
| Tumpukan gelondongan kayu memenhui aliran sungai dan pemukiman penduduk pasca baniir bandang sejumlah wilayah di Sumut. (foto/ist) |
Direktur LBH Medan, Irvan Saputra SH MH, didampingi Sofyan Muis Gajah SH, dalam siaran persnya Senin (1/12/2025) mengatakan penetapan status Bencana Nasional sangat mendesak mengingat skala dampak bencana yang semakin luas dan kemampuan pemerintah daerah yang semakin terbatas dalam penanganannya.
Menurut Irvan, status Bencana Nasional akan memberikan kewenangan penuh kepada BNPB, BPBD, dan pemerintah pusat untuk mengerahkan sumber daya manusia, peralatan, logistik, dan pendanaan secara lebih cepat, terarah, dan terkoordinasi. Hal itu penting untuk mempercepat evakuasi, pemenuhan kebutuhan dasar para penyintas, serta pemulihan infrastruktur vital yang rusak.
Irvan menilai kondisi di tiga provinsi tersebut sudah memenuhi indikator penetapan Bencana Nasional. Selain tingginya jumlah korban jiwa dan orang hilang, banyak wilayah yang kini terisolasi, ribuan warga mengungsi, logistik menipis, serta harga kebutuhan pokok dan BBM melonjak.
“Infrastruktur rusak, komunikasi dan listrik terputus, jalan-jalan banyak yang amblas sehingga akses bantuan menjadi sangat terhambat. Situasi ini sudah sangat darurat,” ujarnya.
Ia juga menyinggung munculnya dugaan penjarahan di sejumlah lokasi yang menunjukkan bahwa situasi sosial masyarakat semakin tertekan. Namun hingga kini, kata Irvan, pemerintah pusat dinilai belum merespons secara cepat untuk meningkatkan status penanganan bencana.
LBH Medan menegaskan bahwa penetapan Bencana Nasional sejalan dengan mandat regulasi, yakni UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, PP Nomor 21 Tahun 2008, dan Perpres Nomor 17 Tahun 2018. Dengan dasar hukum tersebut, pemerintah pusat dinilai tidak punya alasan untuk menunda status darurat nasional.
“Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Jangan sampai keterlambatan respons justru menambah jumlah korban,” tegasnya.
Selain itu, LBH Medan mendesak pemerintah memberlakukan moratorium seluruh izin konsesi di kawasan hutan. Irvan menyebut bencana besar yang terjadi saat ini tidak hanya disebabkan intensitas hujan, tetapi juga akibat aktivitas deforestasi, alih fungsi lahan, tambang ilegal, dan perkebunan yang merusak kawasan hutan dalam beberapa tahun terakhir.
Ia mencontohkan wilayah Sumbar yang mengalami kerusakan hutan masif pada 2020–2024, termasuk di sekitar kawasan konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat. Aktivitas pembalakan liar dan tambang ilegal di Dharmasraya, Agam, Tanah Datar, dan Pesisir Selatan memperparah kerentanan bencana.
“Tanpa tutupan hutan, tidak ada lagi yang menyerap air. Limpasan besar langsung menuju permukiman, seperti yang terjadi di Kota Padang,” jelasnya.
LBH Medan mendesak Kementerian LHK, Kementerian ATR/BPN, Kementerian ESDM, dan instansi terkait melakukan evaluasi total serta menghentikan izin baru industri ekstraktif. Penegakan hukum terhadap aktivitas illegal logging dan tambang ilegal juga harus diperkuat.
“Ini harus segera dilakukan karena akar masalah banjir bukan hanya hujan deras, tetapi buruknya tata kelola hutan dan impunitas terhadap pelaku perusakan lingkungan,” kata Irvan.
Berdasarkan situasi tersebut, LBH Medan mendesak:
Pemerintah pusat segera menetapkan status Darurat Bencana Nasional untuk banjir besar di Sumatera.
Kementerian terkait melakukan evaluasi dan moratorium seluruh izin perkebunan, pertambangan, dan pengelolaan hutan yang melanggar ketentuan dan menyebabkan deforestasi.
Aparat penegak hukum mengusut tuntas seluruh aktivitas penebangan dan pertambangan ilegal yang merusak kawasan hutan dan memicu terjadinya bencana.(SRM/rel)
