Nikah Massal di Gaza, Rayakan Kehidupan Baru usai Bertahun-tahun Dihantam Perang

Di antara bangunan yang hancur dan puing-puing perang yang belum sepenuhnya tersapu waktu, Eman Hassan Lawwa dan Hikmat Lawwa melangkah bergandengan

Editor: Tan
Beberapa dari 54 calon pengantin berkumpul di atas panggung dalam pernikahan massal yang dijuluki "Gaun Kebahagiaan", yang diselenggarakan oleh Yayasan Al-Fares Al-Shahm, di Khan Yunis, Jalur Gaza selatan pada 2 Desember 2025. (AFP).
KHAN YOUNIS - Di antara bangunan yang hancur dan puing-puing perang yang belum sepenuhnya tersapu waktu, Eman Hassan Lawwa dan Hikmat Lawwa melangkah bergandengan tangan.

Eman mengenakan pakaian tradisional Palestina yang sarat makna, sementara Hikmat tampil dalam balutan setelan rapi. Pasangan muda berusia 27 tahun itu berjalan bersama puluhan pasangan lain, membentuk prosesi kecil yang menghadirkan warna kehidupan di tengah abu kehancuran.

Melansir Arab News, sebanyak 54 pasangan pada Selasa (2/12/2025) resmi menikah dalam sebuah pernikahan massal, sebuah perayaan yang nyaris punah dalam dua tahun terakhir akibat perang dan tragedi yang tak berkesudahan. Di tengah kesedihan yang panjang, momen ini menjadi secercah harapan dan simbol bahwa kehidupan tetap berlanjut. “Setelah semua yang kami alami, kami ingin memulai hidup yang baru,” ujar Lawwa dengan nada optimis. “Insya Allah, ini menjadi awal dari berakhirnya perang.”

Tradisi yang Lama Hilang, Kini Hidup Kembali

Pernikahan merupakan salah satu tradisi penting dalam budaya Palestina. Namun, konflik berkepanjangan membuat acara seperti itu jarang sekali dapat digelar. Meski kini berlangsung dalam bentuk sederhana, perayaan tersebut menjadi penanda bahwa masyarakat Gaza berusaha bangkit dari luka kolektif.

Kerumunan warga mengibarkan bendera Palestina di Khan Younis, sementara musik dan tarian tradisional mengiringi prosesi. Namun kegembiraan itu tetap dibayangi kenyataan pahit: jutaan warga Gaza masih mengungsi, kota-kota telah rata dengan tanah, dan bantuan kemanusiaan terus terhambat oleh situasi keamanan.

Eman dan Hikmat yang merupakan kerabat jauh, mengaku sempat mengungsi ke Deir al-Balah. Mereka masih berjuang mendapatkan kebutuhan dasar seperti air, makanan, dan tempat tinggal. “Saya dulu bermimpi punya rumah dan pekerjaan. Sekarang, impian saya hanya menemukan tenda untuk berteduh,” kata Hikmat dengan lirih.

Dibantu Donatur Internasional

Acara pernikahan ini diselenggarakan oleh Al Fares Al Shahim, lembaga kemanusiaan yang didukung Uni Emirat Arab. Selain menyediakan pesta sederhana, setiap pasangan juga mendapatkan bantuan uang serta perlengkapan awal untuk membangun rumah tangga dalam kondisi serba terbatas.

Bagi masyarakat Palestina, pernikahan bukan hanya momen kebahagiaan, tetapi juga perayaan identitas, kelanjutan garis keluarga, dan simbol ketahanan. Bahkan dalam kondisi perang, pernikahan tetap menjadi ritual sosial yang mempertahankan rasa kepemilikan budaya dan harapan akan masa depan. “Setiap pernikahan menandai kelahiran generasi baru yang membawa memori kolektif Palestina,” jelas Randa Serhan, profesor sosiologi di Barnard College yang meneliti tradisi pernikahan Palestina.

Iring-iringan mobil membawa kedua mempelai menyusuri reruntuhan kota, sementara keluarga menari mengikuti lantunan musik. Eman yang memakai gaun adat berwarna putih, merah, dan hijau, tersenyum tipis di balik kesedihan mendalam.

Ia kehilangan ayah, ibu, dan beberapa anggota keluarga dalam perang. Di tengah perayaan, air matanya tumpah. “Sulit merasakan bahagia ketika duka begitu besar,” katanya. “Tapi insya Allah, kami akan bangkit dan membangun kembali, batu demi batu”. (srm/mm)

Share:
Komentar

Berita Terkini