Jakarta — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprakirakan fenomena La Niña akan kembali terjadi di Indonesia pada akhir tahun 2025. Fenomena ini dikenal sebagai “pemanggil hujan” karena biasanya menyebabkan peningkatan curah hujan di berbagai wilayah Tanah Air.
Dalam laporan Prakiraan Musim Hujan 2025/2026, BMKG menyebut kondisi El Niño–Southern Oscillation (ENSO) akan berada di fase netral sepanjang 2025, sebelum beralih menuju La Niña menjelang akhir tahun.
Selain itu, Indian Ocean Dipole (IOD) kini berada pada fase negatif dan diperkirakan bertahan hingga November 2025, kondisi yang dapat memperkuat intensitas hujan, khususnya di wilayah barat dan tengah Indonesia.
“Puncak musim hujan 2025/2026 diperkirakan terjadi pada November–Desember 2025 di wilayah Indonesia bagian barat, serta Januari–Februari 2026 di wilayah selatan dan timur,” tulis BMKG dalam laporan resminya.
BMKG juga memperkirakan musim hujan kali ini datang lebih awal dan berlangsung lebih lama dari rata-rata klimatologis. Sekitar 47,6% wilayah Indonesia atau 333 zona musim (ZOM) diprediksi memasuki musim hujan pada September–November 2025.
Beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan bahkan diperkirakan mulai diguyur hujan sebelum September 2025, sementara wilayah selatan dan timur akan menyusul secara bertahap hingga akhir tahun.
Secara keseluruhan, 42,1% wilayah (294 ZOM) diperkirakan mengalami musim hujan lebih awal dibandingkan biasanya.
Fenomena La Niña dapat berdampak pada berbagai sektor, mulai dari pertanian, perikanan, transportasi, hingga energi. Namun, meningkatnya curah hujan juga berpotensi menimbulkan banjir, tanah longsor, dan gangguan infrastruktur di sejumlah daerah.
BMKG mengimbau masyarakat serta pemerintah daerah agar menyiapkan langkah mitigasi sejak dini, terutama dalam pengelolaan sumber daya air, sistem drainase, dan kesiapan logistik di kawasan rawan bencana.
Perbedaan La Niña dan El Niño
Secara umum, anomali cuaca global terbagi menjadi dua fenomena utama: La Niña dan El Niño. Keduanya merupakan bagian dari sistem El Niño–Southern Oscillation (ENSO), yang terjadi akibat interaksi kompleks antara atmosfer dan samudra di wilayah Pasifik tropis.
El Niño terjadi ketika shu permukaan laut (SPL) di Samudra Pasifik bagian tengah menghangat di atas normal, sedangkan
La Niña muncul ketika SPL di wilayah yang sama mendingin di bawah normal.
Perubahan suhu laut ini berpengaruh terhadap pola curah hujan dan suhu udara di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Dampak Kedua Fenomena
Kedua fenomena ini sama-sama bisa memicu cuaca ekstrem dan gangguan iklim global, yang berdampak pada gagal panen, penurunan produksi pangan, hingga kenaikan harga komoditas pertanian seperti beras.
El Niño biasanya menyebabkan kekeringan panjang di Indonesia, karena pemanasan suhu laut di Samudra Pasifik tengah mengurangi pembentukan awan hujan di wilayah Nusantara.
BMKG menjelaskan, fenomena ini dapat membuat curah hujan berkurang drastis, terutama di wilayah selatan Indonesia seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Menurut National Ocean Service (AS), istilah El Niño berasal dari bahasa Spanyol yang berarti “anak laki-laki.” Nama ini diberikan oleh nelayan Amerika Selatan pada abad ke-17 karena fenomena air hangat tersebut sering memuncak sekitar bulan Desember, bertepatan dengan perayaan Natal.
Sementara itu, La Niña merupakan kebalikannya. Pendinginan suhu laut di Samudra Pasifik tengah meningkatkan pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia, sehingga menyebabkan curah hujan meningkat signifikan.
La Niña kerap memperbesar peluang banjir, tanah longsor, dan gangguan aktivitas transportasi laut maupun darat, tetapi di sisi lain juga dapat meningkatkan ketersediaan air pertanian dan menekan risiko kekeringan.
BMKG menegaskan, baik El Niño maupun La Niña merupakan fenomena alam siklus global yang tidak dapat dihindari, namun dapat dikelola dampaknya melalui kesiapsiagaan dan pengelolaan risiko bencana yang lebih baik.
“Kunci utamanya adalah antisipasi dini dan adaptasi lokal, agar dampak ekstrem dari kedua fenomena tersebut bisa diminimalkan,” ujar BMKG dalam keterangannya.
