Psikologi di Balik Tren Boneka Pop Mart dan Daya Tarik 'Blind Box'

Boneka Pop Mart merupakan koleksi mainan populer yang terkenal berkat desainnya yang unik dan menggemaskan, menampilkan berbagai karakter Labubu

Editor: DIG author photo
Sejumlah pelanggan POP MART mengantre masuk ke gerai di Gandaria City Mal, Jakarta pada Jumat (19/7/2024). (ANTARA/Farika Khotimah)
Boneka Pop Mart merupakan koleksi mainan populer yang terkenal berkat desainnya yang unik dan menggemaskan, menampilkan berbagai karakter seperti Labubu, Dimoo, Crybaby, Upset Duck

Diproduksi oleh perusahaan Pop Mart, boneka-boneka ini hadir dalam beragam seri, sering kali dalam format blind box atau edisi terbatas, sehingga menjadikannya incaran para kolektor.

Dalam beberapa tahun terakhir, generasi muda di berbagai belahan dunia dibuat tergila-gila oleh sosok mungil berbulu bernama Labubu, salah satu karakter ikonik dari lini boneka koleksi Pop Mart asal Tiongkok.

Boneka ini bukan sekadar mainan. Ia telah menjelma menjadi simbol gaya hidup, pemicu perilaku konsumtif, dan representasi dari budaya belanja impulsif yang terus tumbuh di era modern.

Daya tarik Pop Mart berakar pada konsep “blind box” atau kotak misteri, yang memanfaatkan berbagai aspek psikologis seperti rasa penasaran, euforia dari elemen kejutan, serta dorongan untuk melengkapi koleksi. Strategi ini menggerakkan emosi konsumen dan menciptakan kesan eksklusivitas lewat edisi terbatas dan kolaborasi spesial.

Lebih jauh lagi, Pop Mart sukses membentuk komunitas kolektor yang kuat, memanfaatkan fenomena Fear of Missing Out (FoMO), serta tren “kidult— ketertarikan orang dewasa pada mainan masa kecil.

Dahulu, mainan erat kaitannya dengan anak-anak. Kini, justru orang dewasa yang menjadi pasar utama. Sejak didirikan oleh Wang Ning pada 2010, Pop Mart membawa perubahan besar lewat konsep blind box—di mana pembeli tak tahu boneka mana yang akan didapat hingga kotaknya dibuka. Unsur misteri inilah yang membangkitkan rasa penasaran dan adrenalin, yang kemudian mendorong pembelian berulang demi mendapatkan karakter langka.

Salah satu karakter paling fenomenal, Labubu karya seniman Kasing Lung, menjadi pusat kegilaan global. Kepopulerannya melonjak setelah Lisa BLACKPINK memamerkan Labubu di media sosial pada April 2024. Sejak saat itu, Labubu bukan sekadar viral—ia menjadi objek buruan dunia.

Antrean panjang di toko Pop Mart terjadi di berbagai kota, dari Jakarta hingga Los Angeles. Bahkan, beberapa orang rela bermalam demi mendapatkan satu kotak blind box. Di e-commerce Indonesia, Labubu edisi terbatas pernah dilelang hingga Rp66 juta. Menariknya, sebagian pembeli tidak benar-benar menyukai bonekanya—mereka hanya takut tertinggal tren, fenomena yang dikenal dengan istilah FOMO.

Keberhasilan Pop Mart tidak terlepas dari strategi pemasaran yang brilian: kolaborasi eksklusif, edisi terbatas, dan sistem blind box yang memadukan kejutan serta kelangkaan. Mereka memahami bahwa manusia senang dengan sesuatu yang tak terduga dan langka—sering kali membeli bukan karena kebutuhan, melainkan karena takut kehilangan momen.

Namun, di balik strategi kreatif ini, muncul pertanyaan penting: apakah perilaku konsumsi seperti ini masih sehat?

Banyak kolektor mengaku sering membeli secara spontan dan menyesal kemudian. Tetapi perasaan tidak puas justru mendorong mereka membeli lagi—menciptakan siklus pembelian berulang yang didorong oleh ilusi eksklusivitas, bukan kebutuhan nyata.

Ketika Mainan Bertransformasi Menjadi Simbol Gengsi

Tak dapat dimungkiri, Labubu kini bukan sekadar boneka—ia telah menjadi simbol status sosial. Influencer mode Bryanboy bahkan pernah menempelkan Labubu pada tas Hermès Birkin bernilai ratusan juta rupiah. “Kontras antara boneka murah dan tas mahal justru membuat tampilannya unik,” ujarnya.

Namun, makna di balik koleksi kini tampak bergeser. Dalam komunitas kolektor, semakin banyak Labubu yang dimiliki, semakin tinggi pula gengsi seseorang. Nilai diri seolah diukur dari jumlah “makhluk kecil bermata tajam” yang terpajang di rak.

Tidak salah memiliki hobi mengoleksi sesuatu yang disukai. Tapi ketika kesenangan berubah menjadi dorongan impulsif, tekanan sosial, dan pengeluaran berlebihan, kita patut bertanya: masihkah ini sekadar hobi—atau sudah menjadi obsesi?

Budaya Pop Mart mengingatkan kita betapa pentingnya keseimbangan antara kegemaran, kendali diri, dan kesadaran konsumtif agar tidak terjebak dalam siklus tanpa akhir yang akhirnya dapat merugikan diri sendiri. (SRM/Net)

Share:
Komentar

Berita Terkini